Filosofi Kunikida Doppo: Antara Idealisme dan Romantisme

Anime96 Dilihat

Di balik wajah serius Kunikida Doppo dalam Bungou Stray Dogs, terdapat sebuah kompleksitas yang menyimpan filosofi hidup yang memperdebatkan antara idealisme kaku dan romantisme yang terpinggirkan. Kunikida, seorang detektif dengan keyakinan teguh terhadap aturan dan ketertiban, merasa terasing dalam dunia yang sering kali tampak tidak logis dan kacau. Dalam kehidupan berlalunya, ia menulis “Notebook” yang berisi idealisme seputar cara hidupnya, menggambarkan peta yang ia yakini sebagai jalan menuju kebaikan dan keadilan. Namun, di balik perfektionisme tersebut, terdapat jurang keabsurdan yang penuh dengan keraguan dan konflik batin. Dengan menggali lebih dalam tentang filosofi Kunikida, kita akan merasakan gelapnya idealisasi dan romantisme yang kaku, berusaha mencari makna di tengah ketidakpastian yang meliputi kehidupannya.

Idealisme Kunikida: Keterikatan pada “Ideal”

Kalikulasi idealisme Kunikida tertuang dalam ketekunannya menyusun “Ideal” yang ia pegang teguh. Notebooknya, yang berisi aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang dipandangnya mutlak benar, menjadi simbol obsesinya akan kesempurnaan. Kunikida memandang dunia tidak hanya sebagai realitas, melainkan juga sebagai suatu tayangan yang harus diatur dan disusun sesuai dengan keinginannya. Dalam konteks ini, ia berusaha keras untuk menyesuaikan perilakunya dengan panduan yang ia buat sendiri, seolah-olah menciptakan dunia ideal yang ia inginkan melalui ketekunan dan disiplin diri yang ekstrim.

Idealisme kaku ini membuat Kunikida terjebak dalam dunia yang ia bangun sendiri, di mana segala sesuatu harus berada dalam batasan yang telah ditetapkan. Isi notebooknya mencerminkan tekadnya untuk menjadi pribadi yang sangat teratur, tetapi di sisi lain menciptakan kepompong di sekelilingnya, membuatnya sulit untuk beradaptasi dengan situasi di luar bayang-bayang idealnya. Hal ini berujung pada frustrasi saat ia menghadapi orang-orang di sekitarnya, terutama Dazai, yang cenderung melanggar aturan dan berperilaku impulsi, bertentangan dengan keyakinan Kunikida yang sangat ingin menegakkan disiplin.

Kunikida sangat menghargai aturan dan ketertiban. Baginya, mengikuti aturan adalah kunci untuk mencapai efisiensi dan keadilan. Namun, dalam keinginan tersebut, ia terjebak dalam siklus ketidakpuasan yang menggerogoti rasa percaya diri dan integritasnya. Ketidakpatuhan dari rekan-rekannya, terutama dalam situasi-situasi kritis, sering kali membuatnya merasa khawatir dan tertekan. Dalam momen-momen ketika ia merasa terpaksa mengecewakan idealnya, kita bisa merasakan kegelapan yang menghantuinya; apakah semua perjuangan ini sia-sia? Akankah dunia yang diimpikannya bisa terwujud?

Disiplin Diri yang Ekstrem: Ketidakmampuan untuk Fleksibel

Disiplin diri yang diterapkan Kunikida sangat ketat dan tak kenal ampun. Dalam semua aspek kehidupannya, mulai dari pekerjaan hingga kebiasaan sehari-hari, ia memaksakan diri untuk selalu produktif dan efisien. Ia bangun lebih awal, menyusun rencana harian, dan bekerja tanpa kenal lelah untuk memenuhi ekspektasi idealnya. Namun, di balik ketekunan itu, ada suara hampa—yang terus menderita akibat bebannya yang berat. Seolah ia berpuasa dari pengalaman hidup yang lebih manis dan berwarna, memilih untuk berada dalam dunia monoton yang sering kali mengabaikan keindahan dari ketidakpastian.

Sikap disiplin ini membawa konsekuensi emosional yang kelam. Dalam upayanya untuk mematuhi aturan yang ia buat, Kunikida mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk bersikap fleksibel dan menerima bahwa tidak semua hal dapat direncanakan dengan baik. Di satu sisi, ia berusaha keras untuk menunjukkan ketangguhannya, tetapi di sisi lain, ia merasa terkurung dalam kerangka pikir yang membuatnya sulit untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas. Dalam satu insiden, saat situasi yang tidak terduga terjadi, kita menyaksikan ekspresi frustrasi Kunikida, seolah ia berada di tepi jurang, bingung antara menjalani idealisasinya dan beradaptasi dengan kenyataan.

Keterikatan pada disiplin diri yang ekstrem ini menciptakan perpecahan antara Kunikida dan orang-orang di sekelilingnya. Ketika ia berhadapan dengan Dazai, karakter yang penuh spontanitas dan kekacauan, konflik itu mengakibatkan ketegangan dan pertentangan prinsip yang tajam. Dari sudut pandang Dazai, sikap Kunikida pada disiplinnya tampak kaku dan merampas kebebasan, sementara bagi Kunikida, tindakan Dazai adalah pengkhianatan terhadap keadilan dan efisiensi. Ketegangan ini melambangkan dua sisi eksistensi manusia yang saling berhadapan—di antara struktur dan kebebasan.

Tanggung Jawab dan Kewajiban: Beban Moral yang Menghimpit

Rasa tanggung jawab dan kewajiban yang dimiliki Kunikida Doppo sangat kuat, menjadikannya sosok yang berdedikasi untuk menegakkan kebaikan di dunia yang tampaknya kacau. Tanggung jawabnya sebagai anggota Badan Detektif Bersenjata bukan hanya sekadar pekerjaan; ia memandangnya sebagai misi moral. Kunikida berusaha sekuat tenaga untuk melindungi orang-orang di sekitarnya, tetapi beban ini menjadi semakin berat seiring dengan kesadaran bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan.

Dalam perjalanan menciptakan suatu tatanan yang lebih baik, Kunikida sering kali memikul beban moral ini sendirian. Ia merasa terikat untuk memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh dirinya sendiri—asal tidak menciptakan rasa takut atau penyesalan di wajah orang-orang yang ia lindungi. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa berat ini mulai menyelubungi jiwa dan mentalnya. Dalam satu adegan, saat Dazai mengingatkan Kunikida bahwa tidak semua orang bisa diselamatkan, kita melihat momen kerentanan, di mana Kunikida tersentak, merasakannya seperti serangan jarum di jiwanya.

Kewajiban yang begitu mendalam ini juga mencerminkan bagaimana idealisme yang kaku sering kali menjadi musuh bagi kehangatan dan empati. Sebagian dari Kunikida berjuang untuk menjaga rasa kemanusiaan dan pengertian, tetapi idealisme yang keras terus membebani hubungan interpersonalnya. Beberapa kali, kita menyaksikan bagaimana ia dengan bijaksana terpaksa menyakiti orang-orang terdekatnya demi mencapai tujuan besar; tindakan ini menjadi dilema moral yang menghantui langkahnya, menghidupkan kegundahan yang tidak terucapkan di dalam hatinya.

Penolakan Terhadap Ketidakpastian dan Kekacauan: Mencari Ketenangan dalam Kekacauan

Mempelajari Kunikida berarti memasuki dunia yang ketakutan akan ketidakpastian. Ia berjuang melawan kekacauan di sekelilingnya, berupaya menjawab setiap tantangan dengan memaksakan solusi logis dan terukur. Dalam proses itu, Kunikida menolak hal-hal yang tidak bisa dijelaskan—sebuah pola pikir yang terperangkap dalam keinginan untuk menaklukkan dunia yang keras. Ia melihat ketidakpastian sebagai ancaman, sesuatu yang harus ditanggulangi agar dunia dapat kembali teratur dan masuk akal.

Kunekida membuat semua usaha ini demi mencapai ketenangan, tetapi di baliknya, terdapat obsesi untuk mempertahankan kendali. Ia berusaha menghindari momen-momen di mana segalanya bisa terguncang; merekayasa skenario di mana segala sesuatu dapat berjalan sesuai dengan rencananya. Namun, realitas sering kali mengkhianati harapannya, memberikan serangkaian tantangan yang menghancurkan idealisasinya. Ironisnya, dalam pencariannya untuk mendapatkan kepastian, Kunikida justru terjebak dalam ironi kekacauan, merasa lebih terasing dalam upaya yang ia lakukan.

Saat menghadapi situasi yang tidak sambung, seperti tindakan Dazai yang sering kali tak terduga dan impulsif, Kunikida merasakan sangat mendesak keinginan untuk berjuang demi eksistensinya. Dia seringkali berulang kali terlihat dengan frustrasi mengekspresikan bahwa “aturan dan penaklukan adalah kunci untuk memahami dunia,” tetapi ia sangat mungkin mengabaikan realitas bahwa tidak semua hal dapat dipaksa untuk berada di dalam lingkaran logika yang dibangunnya. Dalam proses ini, Kunikida berjuang untuk memahami kekacauan, berusaha menemukan tempat di mana dia dapat merasa nyaman.

Evolusi Filosofi: Pelajaran dalam Fleksibilitas

Meskipun prototipe idealismos Kunikida sangat kuat, ia tidak sepenuhnya statis. Melalui interaksi dengan anggota Badan Detektif Bersenjata lainnya, terutama hubungan dengan Atsushi dan Dazai, kita menyaksikan evolusi yang perlahan dalam pandangan filosofinya. Kunikida mulai menyadari bahwa dalam banyak kasus, kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan ideal yang telah ia tetapkan. Dalam perjalanan ini, ia belajar untuk memahami pentingnya fleksibilitas—bahwa terkadang pengecualian terhadap aturan dibutuhkan.

Konsep ini muncul saat ia terpaksa menerima hasil dari suatu situasi di mana Dazai berhasil menyelamatkan seseorang dengan cara yang tidak terduga. Dalam momen reflektif, Kunikida merasakan dampak positif dari tindakan yang melanggar aturan, dan ini membantu membuka pikirannya bahwa kebaikan kadang-kadang tidak selalu dapat dikontrol atau diprediksi. Dari sini, kita melihat celah-celah dalam sistem kepercayaannya yang kaku mulai melunak, menciptakan jendela untuk pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam.

Pertumbuhan Kunikida membawa kita pada pemahaman bahwa manusia tidak selamanya terikat pada struktur dan ideal. Tidak semua hasil dapat dicapai hanya dengan disiplin dan dedikasi; ada nuansa kehidupan yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa diatur. Momen-momen tersebut menginternalisasi pelajaran berharga bagi Kunikida untuk tidak hanya bertindak sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pendengar, bahwa terkadang kehidupan memerlukan pengertian yang melampaui logika dan aturan.

Koneksi dengan Filosofi Dunia Nyata

Filosofi Kunikida mencerminkan berbagai pemikiran dalam dunia nyata yang menekankan aturan, disiplin, dan tanggung jawab. Secara khusus, kedua idealisme dan deontologi (etika berbasis kewajiban) mempengaruhi pandangannya. Kunikida terperanjat pada mereka yang tidak mematuhi norma dan aturan yang ada, memperlihatkan sifat kritis terhadap ketidaklogisan dan kemalasan. Dalam pandangannya yang ekstrem, tanggung jawab yang dirasa adalah hal yang tak terelakkan; apalagi jika ia terikat pada persaingan dan tanggung jawab dalam Badan Detektif Bersenjata.

Dengan segudang gambaran realistis tentang ide-ide yang dianggap idealis, ia tak jarang mengingatkan masyarakat tentang ketidakpastian, kekacauan, dan tantangan yang dihadapi semua orang. Sebagai bagian dari aliran pemikiran ini, Kunikida erat hubungannya dengan etika kerja Protestan yang menekankan pada disiplin dan kerja keras. Keinginan untuk mewujudkan kebaikan bersama sering kali diperjuangkan sendirian, membawanya ke dalam jurang kesepian ketika semua orang di sekitarnya tampak tak mampu mencapai standar yang ia tetapkan.

Tanpa terasa, ketaatan mutlak terhadap idealisme yang dituang dalam kitab catatan kehidupan membawanya pada batas-batas yang membawa tekanan mental dan emosional. Banyak penonton yang dapat merasakan beban ini dalam diri Kunikida, sentuhan depresif yang mengarah pada refleksi yang lebih dalam tentang kelayakan ideal yang tak jarang membawa kesulitan bagi seseorang. Di sini, kita menyaksikan bagaimana filosofi kebertanggungjawaban mendorongnya pada risiko ketidakpuasan, di mana kegagalan untuk memenuhi ekspektasi menjadi satu-satunya kekecewaan di dalam selimut kebanggaan yang menutupi kasih sayang.

Pandangan Kunikida Terhadap Romantisme: Kritis dan Skeptis

Sebagai seorang individu yang berkomitmen terhadap disiplin, Kunikida tentu akan memiliki pandangan yang skeptis terhadap romantisme. Dalam banyak hal, filosofi Kunikida menolak elemen emosional dan imajinatif yang menjadi inti dari romantisme, serta cenderung menilai idealisme bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai hambatan. Kunikida lebih menghargai pertimbangan logis dan praktis daripada idealisme yang bisa dianggap sebagai khayalan belaka.

Emosi dan Perasaan sebagai Kelemahan

Penghormatan Kunikida terhadap idealisme membuatnya menganalisa penekanan romatisme pada emosi dan perasaan. Ia kemungkinan akan melihat hal ini sebagai sesuatu yang tidak rasional dan tidak stabil, berpotensi mengganggu upaya untuk mencapai tujuan. Bagi Kunikida, perasaan sering kali dianggap sebagai penghalang dalam pengambilan keputusan yang objektif. Dalam sebuah babak cerita, saat Dazai berperilaku impulsif karena emosi, kita dapat melihat betapa frustrasinya Kunikida; ia merasa bahwa tindakan tersebut merusak segala sesuatu yang telah mereka bangun.

Individualisme dan Anarki

Kunikida juga akan menilai penekanan romantisme pada individualisme dan kebebasan sebagai potensi untuk anarki. Dalam pandangannya, kemandirian kultus dapat dengan cepat melahirkan kekacauan dan mengancam tatanan yang telah ditetapkan. Dalam satu episode, ketika Dazai menarik perhatian dengan pernyataan bahwa “individu dapat menemukan kebenaran dalam kebebasan,” Kunikida menanggapi dengan gamblang, “Tidakkah kau mengerti bahwa kekacauan lebih mengarah pada kehancuran?” Keyakinannya bahwa peraturan dan struktur diperlukan untuk menjaga keseimbangan menjadikannya tak mampu menghargai keberanian untuk berani berbeda—suatu kompleksitas yang mengaburkan pemahaman Kunikida tentang keberagaman dalam pandangan manusia.

Imajinasi dan Kreativitas yang Terbatasi

Ketika melihat imajinasi yang bebas dan tidak terstruktur dalam konteks romantisme, Kunikida cenderung menghargainya dalam batasan yang telah ditentukan. Ia mungkin melihat kreativitas liar sebagai hal yang tidak produktif dan tidak realistis. Misalnya, ketika rekan-rekannya memberikan inovasi kreatif di lapangan, ia lebih memilih untuk mempertahankannya dalam kerangka yang dapat diukur dan logis. Dalam satu momen, ketika ia dilaporkan ada peluang besar yang didapatkan dari pendekatan yang berani, Kunikida mendiskreditkan hal tersebut sebagai “kebangkitan untuk membangun fantasi” yang tak jua dapat dipertahankan.

Spiritualitas dan Transendensi: Dunia yang Kaku

Kunikida juga mempunyai pandangan skeptis terhadap aspek spiritualitas dan transendensi dalam romantisme. Bagi Kunikida, hal-hal mistis dan intuisi spiritual bertentangan dengan rasionalitas dan kebenaran ilmiah. Dalam pengalamannya, ia berpegang pada keyakinan bahwa penjelasan yang berbasis fakta jauh lebih penting daripada keyakinan akan hal-hal yang tidak dapat diverifikasi. Melalui ketidakpercayaan ini, ia menciptakan tembok di sekitarnya, menganggap segala hal yang tidak dapat dibuktikan sebagai obscura yang merugikan perkembangan manusia.

Kesimpulan: Menyongsong Kegelapan dan Kesedihan dalam Idealisme

Dari sudut pandang Kunikida Doppo, idealisme yang mendalam sering kali mengarah pada kegelapan dan kesedihan, menghalangi keindahan dalam keberagaman eksistensi. Ketergantungan pada aturan dan struktur dapat membawanya ke dalam giwa yang hampa dan penuh skeptisisme terhadap emosionalitas dan individualitas. Dalam mengejar tujuan yang ideal, ia mungkin kehilangan momen-momen berharga untuk berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya—merampok diri sendiri dari peluang untuk merasakan keindahan sejati dalam hidup.

Idealisme Kunikida mengundang pertanyaan yang lebih besar tentang bagaimana seseorang dapat bergerak di antara keduanya, antara makna dan ketidakpastian. Ketenangan yang dicari tak jarang menjadi hal yang sulit dicapai tatkala sifat dan perlakuan dunia yang penuh dengan ketidakpastian menyandera kehidupannya dalam fatamorgana. Kunikida doppo, dalam repertoar akal budi dan keunikan karakternya, adalah sebuah jendela untuk merenungkan kegelapan dalam idealisme sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa harapan tidak selalu harus dibangun di atas fondasi yang tiada henti dari keteraturan dan disiplin.