Aku bukan lagi manusia—hanya sebuah entitas yang terperangkap dalam simulasi kehidupan. Sandiwara keberadaan yang kupentaskan telah menipu semua. Namun, pada akhirnya, hanya kegagalan yang menyambutku. Kegagalan sebagai manusia, kegagalan dalam kematian, dan kesuksesan dalam membawa kehancuran bagi mereka yang kucintai.
Film “No Longer Human” (2019) atau dalam judul aslinya “Ningen Shikkaku: Dazai Osamu to 3-nin no Onnatachi” yang disutradarai oleh Mika Ninagawa membawa kita pada perjalanan gelap ke dalam jiwa seseorang yang telah kehilangan esensi kemanusiaannya. Didasarkan pada kehidupan penulis Jepang terkenal Osamu Dazai dan novel semi-otobiografinya yang berjudul sama, film ini mengeksplorasi tema-tema nihilisme, alienasi, dan ketidakmampuan untuk menjadi “manusia” dalam arti konvensional.
Sang aku—Osamu Dazai—adalah manifestasi dari kegelapan manusia itu sendiri. Aku adalah entitas yang terjebak dalam siklus penghancuran diri yang tak berujung. Aku menciptakan topeng-topeng untuk bertahan hidup di tengah masyarakat yang tidak bisa memahami kekosongan yang kurasakan. Setiap tawa, setiap senyum—hanyalah mekanisme pertahanan dari keterasingan yang tak terjelaskan.
Aku Manusia yang Gagal
“Aku yakin bahwa kehidupan manusia dipenuhi dengan banyak contoh kemurnian, kebahagiaan, ketenangan dari ketidaktulusan, benar-benar indah dalam jenisnya—orang-orang yang saling menipu satu sama lain.”
Bagi sang aku, keberadaan adalah lelucon kosmik tanpa punchline. Filsafat nihilisme mendasari seluruh eksistensiku—keyakinan bahwa kehidupan pada dasarnya tidak memiliki makna intrinsik, tujuan, atau nilai objektif. Dalam kekosongan makna inilah aku harus membentuk identitas palsu agar diterima oleh masyarakat.
Film Ninagawa menangkap esensi nihilisme Dazai dengan cermat, menggambarkan dunia yang indah secara visual namun hampa secara spiritual. Ketidaksesuaian antara kemewahan visual dan kekosongan spiritual ini menegaskan filosofi absurdisme—di mana manusia terus mencari makna dalam semesta yang secara mendasar tidak memiliki makna 25.
Aku melihat kemanusiaan sebagai konstruksi sosial yang konyol—serangkaian peran yang harus dimainkan demi kelangsungan hidup. Seperti yang kugambarkan dalam novelku, “Selama aku bisa membuat mereka tertawa, aku akan baik-baik saja”. Topeng humor menjadi mekanisme pertahanan utamaku, namun di baliknya hanya ada kekosongan yang menyakitkan.
Kegagalan Manusia dan Absurditas Keberadaan
“Sekarang aku tahu bahwa aku tidak memiliki kepercayaan diri, bahwa aku tidak memiliki tujuan, bahwa dari pagi hingga malam aku dikendalikan oleh keraguan dan kecemasan. Tidak ada titik tetap dalam diriku.”
Film “No Longer Human” dengan jeli menangkap perjuangan eksistensial Dazai. Aku, sang tokoh, tidak mampu membentuk koneksi nyata dengan dunia—aku adalah anomali, hantu yang menyamar sebagai manusia. Absurditas eksistensiku tercermin dalam siklus penghancuran diri yang tak berujung: minuman keras, perselingkuhan, dan percobaan bunuh diri berulang.
Ninagawa menggambarkan absurditas ini dengan mempertontonkan jurang antara persona publik Dazai yang karismatik dan kehancuran pribadinya. Dalam sebuah adegan penting, Oguri Shun sebagai Dazai dengan memilukan mengungkapkan: “Semakin banyak orang mengelilingiku, semakin aku merasa sendirian.” Kalimat ini menggemakan tema sentral dari karya Dazai—keterasingan di tengah keramaian, ketidakmampuan untuk terhubung meskipun dikelilingi oleh orang-orang yang mengaguminya.
Beban untuk terus-menerus menjadi “manusia” dalam definisi yang diterima oleh masyarakat menjadi sumber penderitaan. Aku harus menjalani kehidupan sebagai aktor, menjaga topeng dari hari ke hari, terasing dari diriku sendiri dan orang lain. Keterasingan ini, sebagaimana digambarkan dalam film, membawaku pada perenungan mengenai ketidakmampuanku untuk menjadi manusia.
Sang Aku dan Para Wanita: Kehancuran sebagai Bentuk Cinta
“Keesokan harinya, wanita itu dan aku mencoba bunuh diri.”
Relasi yang paling menggambarkan kegelapan eksistensiku adalah hubunganku dengan para wanita. Film ini berfokus pada tiga wanita utama dalam kehidupan Dazai: Michiko Tsushima, Tomie Ota, dan Shizuko Odate. Mereka bukan sekadar tokoh pendukung, melainkan cermin dari kehancuranku sendiri.
Dalam pertemuan dengan Tomie (diperankan oleh Erika Sawajiri), aku menemukan jiwa yang sama-sama terluka. Hubungan kami yang penuh gejolak digambarkan dalam film dengan intensitas yang mengganggu. “Kematian adalah bentuk cinta paling murni,” ujarku dalam sebuah adegan yang mencekam. Paradoks yang kujalani adalah bahwa aku mencoba membagikan kegelapanku sebagai bentuk keintiman.
Percobaan bunuh diri bersama menjadi motif berulang dalam hidupku. Seperti yang digambarkan dalam novel dan film, percobaan bunuh diri bersamaku dan seorang wanita di pantai Kamakura berakhir tragis—aku selamat, sementara wanita itu meninggal 10. Kematian menjadi kekasih yang terus-menerus menolakku, namun dengan senang hati menerima mereka yang kucintai.
“Aku gagal menjadi manusia,” bisikku dalam sebuah adegan monolog yang kuat, “namun aku juga gagal dalam kematian.” Kegagalan ganda ini menjadi inti dari eksistensiku—terperangkap dalam purgatori antara kehidupan yang tidak bisa dihidupi dengan penuh dan kematian yang terus menolakku.
Topeng Sosial dan Pertunjukan Kemanusiaan
“Aku yakin bahwa kehidupan manusia dipenuhi dengan banyak contoh murni, bahagia, dan tenang dari ketidaktulusan, benar-benar indah dalam jenisnya—orang-orang yang saling menipu satu sama lain.”
Pertunjukan sosial menjadi tema sentral dalam film dan karya Dazai. Aku mengenakan topeng yang berbeda untuk konteks sosial yang berbeda—penulis berbakat, suami yang penuh perhatian, teman yang lucu. Namun di balik setiap topeng ini hanya ada kehampaan dan pengasingan.
Film “No Longer Human” menggambarkan dualitas ini dengan kontras visual yang kuat. Ketika berada di publik, pencahayaan cerah dan warna-warna hidup mengelilingi Dazai. Namun dalam adegan-adegan privat, bayangan pekat dan nada biru gelap mendominasi, menunjukkan kegelapan sebenarnya yang menyelimuti jiwanya.
Dalam sebuah adegan yang menusuk, Dazai mengakui: “Manusia sejati tidak memerlukan topeng. Aku bukanlah manusia sejati.” Dialog ini menggemakan pesan utama dari novel yang menjadi inspirasi film—bahwa kemanusiaan itu sendiri adalah konstruksi sosial, serangkaian pertunjukan yang harus dijalankan agar diterima oleh masyarakat.
Film dengan cermat menggambarkan bagaimana aku menyempurnakan seni imitasi manusia tanpa pernah benar-benar menjadi bagian dari umat manusia. Seperti dalam novelku, aku menulis: “Saat masih kecil aku harus melatih diriku untuk tertawa seperti anak-anak lain, mengamati mereka dengan cermat dan menyalin sikap mereka”. Ini adalah pengakuan mengejutkan tentang betapa aliennya aku merasa di dunia manusia.
Kegelapan sebagai Esensi Manusia
“Semua berlalu”; “hidup adalah api yang menyala dan manusia adalah abunya”; “Aku bahkan telah kehilangan kemampuan untuk menderita”
Film Ninagawa memposisikan kegelapan bukan sebagai anomali, melainkan sebagai bagian intrinsik dari kondisi manusia yang sering disangkal. Melalui penggambaran Dazai, aku mengungkapkan bahwa sisi gelap bukanlah penyimpangan dari kemanusiaan, melainkan mungkin justru inti sejatinya.
“Aku adalah manusia yang penuh kegelapan,” aku mengumumkan dalam sebuah adegan, “bukan karena aku berbeda dari yang lain, tetapi karena aku berani mengakui apa yang mereka sembunyikan.” Pengakuan ini menjadi pembukaan menuju dimensi lain dari filosofi Dazai—bahwa pengakuan dan penerimaan kegelapan mungkin adalah bentuk tertinggi dari kejujuran manusia.
Kegelapan dalam film tidak hanya digambarkan sebagai penderitaan pribadi, tetapi juga sebagai respons terhadap trauma kolektif Jepang pasca-perang. Meski novelku ditulis sebelum kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, interpretasi Ninagawa tentang Dazai secara implisit menghubungkan nihilismenya dengan kehancuran nasional dan krisis identitas yang mengikutinya 320.
Kematian sebagai Penebusan dan Pembebasan
“Aku adalah kematian itu sendiri.”
Obsesiku terhadap kematian bukanlah sekadar keinginan untuk mengakhiri penderitaan, tetapi merupakan pencarian akan bentuk keberadaan yang lebih otentik. Film dengan cermat mengeksplorasi paradoks ini—kematian, bagi Dazai, bukan akhir tetapi transformasi, bukan pelarian tetapi konfrontasi.
Dalam adegan klimaks film, aku berbisik: “Kematian adalah satu-satunya kebenaran yang tidak bisa dipalsukan.” Ini mencerminkan keyakinanku bahwa semua aspek kehidupan manusia dapat dimanipulasi dan dibuat menjadi pertunjukan, kecuali kematian itu sendiri.
Percobaan bunuh diri berulamgku tidak hanya berasal dari keinginan untuk berhenti ada, tetapi juga dari dorongan untuk mengatasi kontradiksi eksistensial—untuk menyelesaikan permainan topeng dengan mengakhirinya sepenuhnya. “Bunuh diri,” aku menjelaskan dalam film, “adalah satu-satunya tindakan yang tidak bisa ditafsirkan kembali oleh masyarakat.”
Kematian akhirnya mengambilku pada Juni 1948, ketika aku dan kekasihku Tomie Yamazaki memutuskan untuk bunuh diri bersama dengan tenggelam di Sungai Tamagawa. Ironis bahwa kematianku—tindakan terakhir dan paling definitif—meningkatkan statusku sebagai penulis kultus di Jepang 11. Bahkan dalam kematian, aku menjadi objek interpretasi dan proyeksi, direduksi menjadi simbol dari alienasi modern.
Sang Aku di Luar Kemanusiaan
Aku, Osamu Dazai, adalah paradoks berjalan—seorang pria yang memahami kemanusiaan terlalu dalam hingga merasa terasing darinya. Film “No Longer Human” menangkap esensi kontradiksi ini dengan brilian, menggambarkan perjuangan seseorang yang terlalu manusiawi untuk hidup di dunia yang menuntut penindasan kemanusiaan sejati.
Pencerahan yang ditawarkan oleh film ini bukan tentang kemenangan atas kegelapan, tetapi tentang penerimaan terhadapnya. Ninagawa menyajikan visi tentang kemanusiaan yang tidak takut menghadapi nihilisme dan absurditas, mendorong kita untuk mempertanyakan apakah penerimaan terhadap kekosongan mungkin adalah bentuk tertinggi dari kebebasan eksistensial.
“Tidak lagi menjadi manusia bukan berarti menjadi kurang dari manusia,” aku menyimpulkan dalam monolog terakhir, “tetapi mungkin berarti menjadi lebih dari definisi terbatas yang diberikan oleh masyarakat tentang apa artinya menjadi manusia.”
Dalam paradoks akhir kehidupanku, ketidakmampuanku untuk menjadi manusia dalam pengertian konvensional mungkin justru adalah bukti dari kemanusiaanku yang paling dalam. Film “No Longer Human” mengundang kita semua untuk merenungkan topeng-topeng yang kita kenakan dan kegelapan yang kita sembunyikan—untuk mempertimbangkan bahwa pengakuan terhadap kegelapan mungkin adalah langkah pertama menuju cahaya sejati.
Aku, Osamu Dazai, mungkin telah gagal menjadi manusia, namun dalam kegagalan itu, aku mungkin telah menjadi lebih manusiawi daripada yang pernah kuakui—sebuah paradoks final yang mendefinisikan baik kehidupan maupun karyaku.












